JAKARTA - Pasar energi internasional kembali diguncang oleh dinamika geopolitik yang melibatkan Rusia dan Ukraina. Harga minyak dunia pada perdagangan awal pekan ini mencatat kenaikan yang cukup signifikan, memperpanjang tren positif dari sesi sebelumnya. Kondisi ini menambah ketidakpastian global di tengah situasi pasokan energi yang sudah rapuh.
Pada Senin, 15 September 2025, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Oktober 2025 naik sebesar 61 sen atau sekitar 0,97 persen. Dengan kenaikan tersebut, WTI diperdagangkan di level US$63,3 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara itu, harga minyak mentah Brent untuk kontrak pengiriman November 2025 juga mengalami kenaikan sebesar 45 sen atau sekitar 0,67 persen, sehingga diperdagangkan di posisi US$67,44 per barel di London ICE Futures Exchange.
Kedua tolok ukur harga minyak dunia itu sama-sama bergerak positif, menandakan sentimen pasar masih dipengaruhi oleh kondisi politik dan keamanan di kawasan Eropa Timur, khususnya terkait serangan terhadap fasilitas energi Rusia.
Dampak Serangan Drone ke Kilang Minyak Rusia
Lonjakan harga minyak yang terjadi kali ini tak lepas dari insiden serangan drone yang menargetkan salah satu kilang minyak penting di Rusia. Kilang tersebut berlokasi di barat laut Kirishi, sebuah wilayah strategis bagi rantai pasokan energi Negeri Beruang Merah. Serangan itu membuat unit pemrosesan utama di kilang tersebut terpaksa menghentikan operasionalnya sejak pekan lalu.
Kilang Kirishi diketahui mampu memproses sekitar 355.000 barel minyak per hari. Angka itu setara dengan sekitar 6,4 persen dari total kapasitas produksi minyak Rusia. Terhentinya sebagian besar aktivitas kilang ini tentu saja menimbulkan gangguan signifikan dalam distribusi energi, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor.
Pasar internasional segera merespons kabar tersebut. Gangguan pada pasokan dari salah satu produsen utama dunia secara otomatis memicu kekhawatiran akan ketersediaan minyak global. Kekhawatiran inilah yang menjadi salah satu pendorong utama kenaikan harga di bursa energi internasional.
Tekanan Politik dari Amerika Serikat
Selain faktor serangan drone, dinamika politik internasional juga semakin mempertegas tren penguatan harga minyak. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara terbuka memberikan tekanan kepada sejumlah negara pembeli minyak Rusia. Desakan tersebut dimaksudkan agar negara-negara tersebut mengurangi ketergantungannya terhadap pasokan energi dari Rusia.
Langkah politik ini tentu membawa konsekuensi tersendiri. Di satu sisi, negara-negara mitra dagang Rusia dipaksa mencari alternatif pasokan yang belum tentu tersedia dalam waktu cepat. Di sisi lain, tindakan tersebut mempersempit ruang ekspor Rusia, yang pada akhirnya berimbas pada berkurangnya suplai di pasar global.
Kondisi ini semakin menambah sentimen bullish di pasar energi, karena para pelaku pasar memperkirakan ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan akan terus berlanjut selama tekanan politik ini berlangsung.
Ketidakpastian Pasar Energi Global
Kenaikan harga minyak yang terjadi saat ini sesungguhnya mencerminkan kerentanan pasar energi internasional terhadap faktor non-ekonomi. Serangan militer dan tekanan politik terbukti menjadi katalis yang lebih dominan ketimbang faktor fundamental seperti tingkat produksi atau permintaan musiman.
Ketidakpastian ini juga membuat sejumlah analis memperingatkan kemungkinan lonjakan harga yang lebih tinggi jika konflik Rusia-Ukraina tidak mereda dalam waktu dekat. Pasar energi global membutuhkan kepastian, dan tanpa adanya jaminan keamanan pasokan, harga akan sulit terkendali.
Selain itu, kondisi ini juga berpotensi menekan negara-negara importir minyak, termasuk negara berkembang yang sangat bergantung pada pasokan energi dari luar negeri. Kenaikan harga akan berimbas langsung pada biaya produksi, transportasi, hingga harga barang kebutuhan pokok.
Prospek ke Depan
Melihat tren yang ada, prospek harga minyak dunia ke depan masih dipenuhi ketidakpastian. Selama konflik bersenjata dan ketegangan diplomatik terus berlangsung, sulit mengharapkan harga kembali stabil dalam jangka pendek.
Kilang Kirishi yang berhenti beroperasi sementara waktu menjadi bukti nyata bagaimana satu insiden bisa memberikan dampak besar terhadap pasar global. Ditambah dengan langkah politik Presiden Trump yang menekan pembeli minyak Rusia, pasar seolah mendapat dua tekanan sekaligus: dari sisi pasokan fisik dan dari sisi kebijakan internasional.
Para pelaku pasar kini menunggu perkembangan terbaru, apakah Rusia mampu segera memulihkan kapasitas produksinya, atau justru serangan akan semakin meluas. Semua kemungkinan itu akan terus menjadi faktor penentu arah pergerakan harga minyak dunia.
Dengan rangkaian faktor tersebut, jelas bahwa penguatan harga minyak dunia kali ini tidak hanya didorong oleh aspek ekonomi murni, melainkan juga oleh faktor politik dan keamanan. Situasi inilah yang membuat pasar energi global semakin sulit diprediksi.