Cesium-137

Temuan Cesium-137 di Udang Cikande Picu Waspada

Temuan Cesium-137 di Udang Cikande Picu Waspada
Temuan Cesium-137 di Udang Cikande Picu Waspada

JAKARTA - Kontainer udang beku asal Indonesia ditolak Amerika Serikat pada Agustus 2025 setelah ditemukan jejak material radioaktif Cesium-137 (Cs-137). Penolakan terjadi di pelabuhan Los Angeles, Houston, Savannah, dan Miami, memicu investigasi lanjutan di dalam negeri.

Tim gabungan akhirnya menelusuri asal kontaminasi hingga Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten. Di lokasi penampungan logam bekas, ditemukan material yang positif mengandung Cs-137. Temuan ini memunculkan pertanyaan mengenai risiko bagi manusia dan asal-usul zat radioaktif tersebut.

Apa Itu Cesium-137 dan Asal-Usulnya

Cesium-137 adalah produk dari fisi nuklir, muncul dari uji coba senjata nuklir maupun kecelakaan reaktor, seperti Chernobyl 1986. Zat ini memiliki waktu paruh 30,17 tahun dan memancarkan radiasi beta serta gamma.

Dalam kondisi murni, Cs-137 berbentuk cair pada suhu ruang, tetapi mudah berikatan dengan klorida menjadi serbuk kristal putih. Dalam situasi tertentu, material ini bahkan dapat memancarkan cahaya.

Penggunaan Cs-137 cukup luas di dunia medis dan industri. Dalam jumlah kecil, digunakan untuk kalibrasi alat deteksi radiasi. Dalam jumlah besar, zat ini dipakai pada terapi radiasi kanker, sterilisasi medis, hingga pengukuran industri, seperti ketebalan kertas, logam, dan aliran cairan.

Sisa paparan Cs-137 dari uji coba nuklir era 1950–1960 juga masih bisa ditemukan di lingkungan. Namun, risiko bagi manusia tergantung intensitas, durasi, dan jenis paparan.

Risiko Paparan bagi Manusia

Paparan harian Cs-137 dalam jumlah kecil memang ada, tetapi tidak menimbulkan bahaya langsung. Risiko meningkat jika material tersebar dari wadahnya, misalnya akibat kebocoran atau kecelakaan.

Paparan tinggi dapat memicu penyakit radiasi akut, dengan gejala mual, muntah, kelelahan, kerontokan rambut, bahkan kematian bila dosis mencapai sekitar 1 sievert.

Paparan internal melalui pernapasan atau konsumsi makanan dapat menyebabkan Cs-137 tersimpan di jaringan lunak, terutama otot. Hal ini meningkatkan risiko kanker akibat radiasi beta dan gamma. Namun, penggunaan Cs-137 untuk kalibrasi alat atau keperluan observatorium termasuk dalam kategori aman.

Dr. Hariadi Wibisono, Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), menekankan bahwa paparan radiasi dalam teknologi pengemasan modern biasanya aman. Menurutnya, risiko konsumsi jangka panjang kecil, karena seseorang tidak mungkin mengonsumsi produk tersebut dalam jumlah besar secara terus-menerus.

Kontaminasi Bersifat Eksternal, Bukan Proses Perikanan

Dr. Roni Nugraha, dosen Departemen Teknologi Hasil Perairan IPB, menjelaskan bahwa kontaminasi Cs-137 bukan berasal dari pengolahan udang. Berdasarkan penelusuran Bapeten dan KKP, cesium terbawa udara dari aktivitas peleburan logam di sekitar lokasi industri, sehingga sifatnya eksternal.

Cesium adalah zat radioaktif buatan yang tidak ada di alam bebas, sehingga tidak masuk dalam poin kontrol SOP perusahaan perikanan. Meski begitu, kadar cesium yang ditemukan jauh di bawah ambang batas aman FDA, yakni 68 Bq/kg dibanding batas 1.200 Bq/kg.

Dengan prinsip kehati-hatian, FDA tetap meminta produk ditarik dari pasar, meski secara teknis masih aman untuk dikonsumsi. Hal ini menjadi pengingat pentingnya kontrol lingkungan di sekitar kawasan industri dan transportasi produk pangan.

Langkah Pencegahan

Insiden ini menunjukkan bagaimana zat radioaktif dapat masuk ke rantai pasok melalui faktor eksternal, bukan proses produksi. Penting bagi otoritas dan industri terkait untuk terus memantau kawasan industri agar potensi kontaminasi tidak membahayakan konsumen.

Masyarakat pun perlu memahami bahwa meski penemuan Cs-137 terdengar menakutkan, tingkat risiko bagi kesehatan tetap rendah jika berada di bawah ambang batas aman. Langkah pengawasan yang cepat dan transparan menjadi kunci untuk menjaga keamanan pangan.

Penemuan ini juga menjadi pelajaran bagi eksportir, importir, dan regulator untuk lebih ketat dalam pemantauan kualitas produk. Dengan begitu, potensi risiko kesehatan dapat diminimalkan, sekaligus menjaga reputasi produk Indonesia di pasar internasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index